Gak cukup kan kalau sekedar
sarjana? Ya, bener. Butuh perjuangan 4 tahun untuk make baju item ama topi segi
lima yang ada rumbai-rumbainya itu. Makenya sehari kok. Setelah itu perjuangan
idup yang asli baru dimulai. Semua butuh usaha demi mencari sesuap nasi,
sebongkah berlian dan seonggok permata. Kadang, ga jarang harus ninggalin
kampung halaman lagi. Harus rela bersaing. Harus rela pula jika digaji jauh
dibawah UMR. Ini serius. Di Indonesia kesejahteraan guru kurang diperhatikan.
Saya berbicara soal guru honorer ya. Bukan yang kesejahteraannya udah dijamin
karena udah PNS. Bukan. Harus sesabar apa kami digaji 200-300ribu untuk satu
bulan? Kita intip sistem penggajian guru honorer di negara ini. Kita digaji
berdasarkan perhitungan jam mengajar. Semisal saya mendapatkan 20 jam dalam
seminggu. 1 jam mengajar saya dibayar 20.000. ‘wah lumayan, saya mendapat gaji
1,6 juta perbulan’. Not bad ya. Itu pikir saya. Karena 20jam (seminggu) x 4 (4
minggu dlm 1 bulan)= 80jam. Kemudian 80 jam x 20.000= 1,6. Nyatanya? Tidak
seperti itu perhitungannya saudara-saudara. Guru honorer hanya dibayar 1 minggu
di awal saja. Jika saya mendapat 20 jam dalam seminggu dan 20.000/jam.
20x20.000= 400.000. 3 minggu ke depan adalah jam mati. Tidak dihitung. Miris. Itulah
honor saya yang saya terima. Saya kaget jujur. Saya tidak mengerti sistem
penggajian guru honorer. Zaman kuliahpun, saya tidak begitu paham, mungkin
karena setiap makul yang saya hadiri. Saya habiskan dengan duduk paling
belakang. Bangku depan sudah terisi sama mahasiswa yang dewa berdiskusi. Beda
dengan saya, saya lebih cenderung tipe mahasiswi yang ‘lulus-pun-udah-syukur’
atau lebih pantas dikatan saya lolos kuliah, bukan lulus kuliah. Ok skip. Seorang
guru honorer ga jarang mencari pekerjaan lain selagi tidak mengajar. Ada yang
buat online shop, ada yang menjadi tukang ojek, dagang di pasar. Kalau saya
berencana memperjualbelikan soal-soal ujian. Tapi entahlah, saya takut dikebiri
sama kepsek. Serius..saya pribadi berjualan nasi uduk dan nasi bakar diluar jam
mengajar. Selain itu juga memperjualbelikan akun game seperti CoC atau Clash
Royale. Lumayan bisa kebeli make up buat nge-gebet guru olahraga. (lah?!)
Belum lagi peraturan pemerintah
yang sudah berubah. Semua guru wajib ikut PPG (Pelatihan Profesionalisme Guru).
Akta 4 sudah tidak berlaku. FYI, saya dapat akta 4 sewaktu saya wisuda. Jadi
untuk apa diberikan akta 4 jika guru harus melakukan PPG. PPG ini boleh diikuti
oleh mahasiswa pendidikan dan non dik. Wait?! Non dik? Saya merasa tidak terima
pada awalnya. Masa kami (yang memang kuliah di IKIP dan jurusan pendidikan)
merasa posisinya digeser oleh mahasiswa yang mengambil ilmu murni. Contoh, saya
jurusan pendidikan ekonomi. Teman saya, jurusan ekonomi. Teman saya ingin
menjadi guru? easy.. ambillah PPG. Kami? Mahasiswa pendidikan? Masih tetap
harus mengambil PPG. Ah saya pikir rezeki memang sudah ada yang atur kok. No
prob lah. Untuk menjadi PNS nih, dengar-dengar guru harus mengabdi di daerah
terpencil (nama programnya SM3T). Bagus sih.. pemerintah menggalakkan program
ini karena penyebaran guru di Indonesia ga merata. Belum terbayang saya harus
pergi mengajar didaerah sulit air, minim penerangan, dan susah sinyal.
Bagaimana jika saya harus berjalan puluhan kilo untuk ke sekolah. Mendaki
gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke angkasa. Belum lagi ditengah
perjalanan saya terjebak perang suku kemudian saya mati. Perlu dipikir lebih
jauh, siswanya saja semangat untuk menuntut ilmu, kok gurunya malah tumbang?
From my deepest heart saya tidak
ingin menjadi guru sebenarnya. Karena saya yakin murid saya akan menjadi
seperti saya zaman sekolah dulu. Tiba-tiba ke kantin ga balik, tiba-tiba
nyontek, tiba-tiba izin bolak-balik wc sampe capek. Tapi beginilah adalanya. Ketahuilah memang Tuhan yang Maha Memantaskan Hamba-Nya